Kekhasanan Dialek Tegal, Kudus,
dan Surakarta sebagai Penganekaragaman Dialek antar Mahasiswa
Oleh : Susilawati (2601414010)
Latar Belakang
Jawa Tengah merupakan
bagian pulau Jawa yang wilayahnya dibagi-bagi lagi menjadi kota-kota besar dan
kabupaten. Wilayah-wilayah yang menyebar itu menjadikan Jawa Tengah memiliki
beraneka ragam gaya bahasa atau yang biasa disebut dialek, seperti dialek
banyumas, dialek tegal, dialek surakarta, dialek jogja, dan lain sebagainya.
Sebagai masyarakat sosial, pastilah tidak lepas berkomunikasi dengan banyak
orang, komunikasi yang terjalin seringkali terhambat oleh pemahaman bahasa yang
kurang, terutama perihal dialek. Ketika masyarakat dari wilayah Jawa Tengah
bagian Barat, seperti Tegal, Banyumas, Brebes, Purbalingga berkomunikasi dengan
masyarakat bagian timur, seperti Solo, Semarang, dan Yogya maka komunikasi
antar masyarakat itu tidak akan berjalan dengan baik dikarenakan mereka
memiliki dialek yang berbeda-beda dan cara berbicara yang berbeda pula. Dengan
demikian perlu adanya keinginan untuk saling mempelajari dialek antar daerah
untuk dapat memahami maksud perkataan lawan bicara, juga hal ini sebagai
penganekaragaman dialek setiap masyarakat, karena Indonesia juga merupakan
Negara dengan banyak keanekaragaman budaya.
Sebagai mahasiswa yang
menuntut ilmu di daerah lain, pastilah bertemu dengan teman-teman dari daerah
lain pula, sehingga pasti ada penganekaragaman dialek karena tidak mungkin
mahasiswa akan berkomunikasi dengan mahasiswa lain daerah menggunakan dialek dari
wilayahnya, karena lawan bicara tidak akan paham. Perlahan mahasiswa akan
belajar memahami dialek-dialek dari teman-teman yang berasal dari wilayah yang
berbeda sehingga terjadilah penganekaragaman dialek.
Rumusan Masalah
Dialek
bahasa dalam wilayah Jawa Tengah memang beragam, dan ketika saling berkomunikasi maka akan sulit
memahami maksud pembicaraan jika tidak mengetahui dialek lawan bicara, karena
fonemnya pun berbeda. Dialek-dialek yang ada memiliki keunikan masing-masing
yang terdkadang akan membuat pendengarnya merasa aneh, namun juga membuat orang
lain tertarik, lalu bagaimana cara menganekaragamkan dialek terutama pada
kalangan mahasiswa khususnya di Semarang yang diantaranya terdiri dari
mahasiswa wilayah Tegal, Kudus, dan Surakarta yang jelas sangat berbeda
dialeknya?
Tujuan
Tujuan dari karya ini
sendiri adalah untuk mengungkap keunikan ragam dialek Tegal, Kudus, dan
Surakarta yang bertolak belakang. Keunikan yang telah ada maka akan membantu
menganekaragamkan dialek-dialek para mahasiswa agar tidak sulit dalam
berkomunikasi dan menambah pengetahuan akan dialek-dialek yang ada di sekitar
mereka sehingga mereka tidak kesulitan menangkap makna kata yang diucapkan oleh
lawan bicara.
PEMBAHASAN
Fonem
Fonem
adalah satuan bunyi bahasa terkecil di dalam kata yang berfungsi membedakan
bentuk dan makna. Jadi, fonem sendiri tidak mempunyai makna. Yang mempunyai
makna ialah kata yang memang berunsurkan fonem-fonem. Fonem ditulis diantara
tanda /.../, sedangkan bunyi seperti yang terlihat pada contoh-contoh di atas
ditulis di antara tanda [...]. contoh fonem terdapat pada pasangan kata bahasa
Jawa pala dan bala. Kedua kata itu mempunyai makna yang berbedakarena adanya
perbedaan bunyi pad awal kata, yaitu bunyi [p] dengan [b]. Kata pertama berarti
buah ‘pala’, sedangkan kata kedua berarti ‘teman’. Karena berfungsi membedakan
makna, kedua bunyi itu merupakan fonem yang berbeda dan masing-masing ditulis
sebagai /p/ dan /b/. Menurut jenisnya, fonem dapat dibagi menjadi dua, yaitu
fonem segmental dan fonem suorasegmental. Fonem segmental adalah fonem yang
dapat disegmen-segmen atau dipisah-pisahkan. Misalnya, kata pasar dan kacang di
dalam bahasa Jawa atau Indonesia. Kedua kata itu terdiri atas lima segmen
fonem, yaitu /p/a/s/a/r/ dan /k/a/c/a/ŋ/. Berlawanan dengan fonem segmental,
fonem suprasegmental merupakan fonem yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
Kehadirannya bersifat menyertai fonem segmental. Contoh fonem suprasegmental
ialah intonasi, nada, jeda atau persendian, dan tekanan atau aksen yang
membedakan makna. Contoh intonasi yang membedakan makna terdapat di dalam
intonasi kalimat berita yang berbeda dengan kalimat tanya dan perintah.
(Wedhawati, dkk 2005: 62—63)
Dialek
Menurut Poedjosoedarmo (1978:
7) dialek adalah
variasi sebuah bahasa yang
adanya ditentukan oleh sebuah
latar belakang asal
si penutur. Menurut
Poedjosoedarmo (1979: 23) Jenis
dialek dibedakan menjadi tiga
macam yaitu dialek geografis, dialek sosial, dan dialek usia.
a. Dialek geografis
Dialek geografis yaitu
tempat asal daerah
si penutur seperti
dalam bahasa
Jawa misalnya terdapat dialek Jogja, Solo, Bagelen, dan Banyumasan.
Contohnya:
Pada daerah Tegal
menggunakan dialek bahasa ngapak.
X: ”rika pan ning
endi?
( “kamu mau kemana
?” )
Y: “enyong pan ning
kampus”.
( “aku mau ke
kampus”.)
b. Dialek Sosial
Dialek sosial adalah
latar belakang tingkat
sosial dari mana
seseorang penutur berasal. Dialek
ini dibedakan menjadi dialek
sosial tingkat tinggi, menengah, dan
merendah. Bahasa yang digunakan dalam
berkomunikasi pada masing-masing tingkatan
berbeda, bahasa yang
digunakan tingkat sosial
tinggi biasanya menggunakan bahasa
yang halus (krama
alus), “Panjenengan menika rawuh
pukul pinten mbakyu? (kamu
datang jam berapa
mbak?). Tingkatan menengah menggunkan
bahasa “krama”, “sampeyan tindak
mriki jam pinten mbakyu?”(kamu datang
kesini jam berapa
mbak?). Tingkatan merendah mengunaan bahasa
“ngoko”, “kowe mrene
iki jam pira
mbakyu?”(kamu kesini jam berapa
mbak?. Bahasa yang digunakan pada masing-masing terlihat berbeda karena tingkatan
sosialnya. Bahasa tingkatan
atas berbeda dengan
tingkatan menengah ataupun tingkatan merendah.
c. Dialek Usia
Dialek usia adalah
varian bahasa yang ditandai oleh
latar belakang umur penuturnya. Dengan demikian dapat
dibedakan menjadi tiga macam dialek usia, yaitu dialek anak, dialek (kaum)
muda, dialek (kaum) tua. Sebagai ciri penanda dialek usia
yang paling menonjol
adalah pemilihan kata-kata
atau kosakata.
Contohnya:
Anak: “Bu, adek pengen pipis”
(Bu, adek mau pipis)
Kata “pipis” sering digunakan oleh anak-anak jika akan kencing, sedangkan ketika sudah
dewasa dia tidak
akan menggunakan kata
“pipis” tetapi menggantinya dengan
kata “mau ke
belakang” atau “mau
ke WC”. Begitu
juga dengan (kaum) tua tidak akan menggunakan kata “pipis” apabila akan
kencing. Kata pipis sudah menjadi kata yang khas digunakan oleh anak-anak.
Sosiolinguistik
Sosiolinguistik bersasal
dari kata “sosio”
dan “ linguistic”.
Sosio sama dengan kata sosial yaitu berhubungan dengan
masyarakat. Linguistik adalah ilmu yang
mempelajari dan membicarakan bahasa khususnya unsur- unsur bahasa dan antara
unsur- unsur itu.Jadi,
sosiolinguistik adalah kajian
yang menyusun teoriteori
tentang hubungan masyarakat
dengan bahasa. Berdasarkan
pengertian sebelumnya, sosiolinguistik juga
mempelajari dan membahas
aspek –aspek kemasyarakatan bahasa
khususnya perbedaan- perbedaan
yang terdapat dalam bahasa
yang berkaitan dengan faktor- faktor
kemasyarakatan ( Nababan 1993:2).
Sosiolinguistik merupakan
ilmu antardisiplin antara
sosiologi dengan linguistik, dua
bidang ilmu empiris
yang mempunyai kaitan
erat. Sosiologi merupakan kajian
yang objektif dan
ilmiah mengenai manusia
di dalam masyarakat, lembaga- lembaga, dan proses sosial yang ada di dalam
masyarakat. Sosiologi berusaha mengetahui
bagaimana masyarakat itu
terjadi, berlangsung, dan tetap
ada. Dengan mempelajari
lembaga- lembaga, proses
social dan segala masalah social
di dalam masyarakat,
akan diketahui cara-
cara manusia menyesuaikan diri
dengan lingkungannya, bagaimana mereka bersosialisasi, dan menempatkan diri
dalam tempatnya masing-
masing di dalam
masyarakat. Sedangkan linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari
tentang bahasa, atau ilmu yang mengambil
bahasa sebagai objek
kajiannya. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa sosiolinguistik adalah
bidang ilmu antardisipliner yang mempelajari bahasa
dalam kaitannya dengan
penggunaan bahasa itu
dalam masyarakat (Chaer dan
Agustina 2003: 2).
Kekhasan dialek Tegal, Kudus,
dan Surakarta
Dialek Tegal merupakan
dialek yang terkenal dengan “ngapak”, yaitu ciri khas orang Tegal yang ketika
berbicara dengan tekanan yang keras dan intonasi yang tinggi, sehingga
terkadang bagi orang yang baru mendengarnya maka mereka mengira bahwa orang itu
sedang marah-marah. Lain dari tekanan yang keras dan intonasi yang tinggi,
fonem dialek Tegal sangat berbeda dengan dialek Kudus dan Surakarta. Pada fonem
vokal, dialek Tegal menggunakan vokal “a”, sehingga orang Tegal bisa dikatakan
sebagai orang yang jujur dalam hal fonem karena bertutur sesuai dengan tulisan,
sedangkan dialek Kudus dan Surakarta menggunakan vokal “o”, tidak sesiau dengan
tulisan. Bagi mahasiswa antara mahasiswa dari Tegal, Kudus, dan Surakarta akan
sulit untuk saling berkomunikasi karena penggunaan vonem yang berbeda sehingga
maknanya pun tidak dipahami. Vonem konsonan antara dialek Tegal, Kudus, dan
Surakarta pun berbeda sehingga banyak kata-kata yang sebenarnya sama maknanya
namun berbeda cara pengucapannya, apalagi dialek orang Kudus yang menggunakan
kata “nem” untuk menyebutkan “milikmu”. Berikut ini adalah contoh-contoh
keunikan fonem pada dialek Tegal, Kudus, dan Surakarta :
Keunikan fonem vokal
Dialek Tegal
|
Dialek Kudus
|
Dialek Surakarta
|
Arti dalam Bahasa Indonesia
|
Apa
|
Opo
|
Opo
|
Apa
|
Sega
|
Sego
|
Sego
|
Nasi
|
Adus
|
AdUs
|
AdUs
|
Mandi
|
Pitik
|
PitI?
|
PitI?
|
Anak ayam
|
Gawa
|
Gowo
|
Gowo
|
Membawa
|
Bisa
|
Biso
|
Biso
|
Bisa
|
Kanca
|
Konco
|
Konco
|
Teman
|
Keunikan fonem konsonan
Dialek Tegal
|
Dialek Kudus
|
Dialek Surakarta
|
Arti dalam Bahasa Indonesia
|
Wareg
|
Warek
|
Warek
|
Kenyang
|
Murub
|
Murup
|
Murup
|
Menyala
|
Arab
|
Arap
|
Arap
|
Arab
|
Penganekaragaman Dialek pada
Mahasiswa Tegal, Kudus, dan Surakarta
Bagi mahasiswa yang sudah
terbiasa berkomunikasi dengan mahasiswa lain yang berbeda wilayah maka sedikit
demi sedikit akan tahu semua yang dibicarakan oleh lawan bicara karena sudah
sering berkomunikasi bersama, bahkan mereka tertarik untuk berbicara dengan
dialek lawan bicaranya. Contohnya saja pada rombel satu jurusan Bahasa dan
Sastra Jawa di Universitas Negeri Semarang, yang terdapat lima orang dari
wilayah Tegal, dua orang dari Kudus, dan satu dari Surakarta. Pertama berkomunikasi memang sulit untuk mengetahui
maksud pembicaraan antara delapan orang tersebut, namun lama-lama akhirnya
mengerti juga maksudnya, dan ada yang ikut memakai dialek temannya. Mahasiswa
yang berasal dari Surakarta ikut menggunakan dialek Tegal, karena sering
berkomunikasi dengan mahasiswa yang berasal dari Tegal, begitu pun mahasiswa
yang berasal dari Tegal, ikut juga menggunakan dialek dari Surakarta, begitu
pun dengan mahasiswa asal Kudus yang juga terkadang bergurau ikut menggunakan
dialek Tegal. Hal ini untuk saling menghormati antar wilayah, namun dialek
Kudus dan Surakarta hampir sama, hanya ada perbedaan sedikit, yaitu pada
penggunaan pronomina, contohnya, orang Kudus mengatakan “bukunem” yang berarti
“bukumu”, namun pada dialek Surakarta akan mengatakan “bukumu”, dan dari dialek
Tegal akan mengatakan “bukune kowen”. Hal ini menganekaragamkan dialek
mahasiswa, yang awalnya karena saling ingin tahu, ketika didengar terasa lucu
dan aneh dan akhirnya tertarik sehingga terjadilah penganekaragaman dialek.
Contoh dialek Tegal, Kudus, dan
Surakarta
Percakapan dengan dialek Tegal :
A : “Koen lagi apa donge?”
B : “ Lagi ngenteni angkot kye koh ora teka-teka”
A : “ Pan mendi sih?”
B : ‘ Pan tuku gandul nang pasar”
A : “ Oh, yawis sing ati-ati, bokan dibegal”
B : “ Iya kang”
Percakapan dengan dialek Kudus :
A : “ Kowe lagi opo toh?”
B : “ Iki ijih ngenteni angkut kok ora teka-teka”
A : “ Meh ngendi?”
B : “ Arep tuku kates neng pasar”
A : “ Owalah, yo wes sing ati-ati, bokmenawa ono sing mbegal”
B : “ Iyo mas”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar